Rabu, 03 April 2013

BAMANA Ikut Mewujudkan "Yogyakarta Rumah Kita Bersama"


Foto : Reno Simpel
Yogyakarta, kota yang mewakili banyak kultur budaya sedang dirundung "kegalauan" pasca penyerangan kelompok bersenjata yang menewaskan empat orang warga NTT di Lapas Cebongan. Hal ini tentu membuat para perantau dari indonesia timur harus banyak berbenah. Terdengar klise memang apabila kita meminjam pepatah "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" sebagai bekal merantau, namun kenyataannya itulah konsep berkehidupan yang paling baik untuk adat ketimuran.

Sabtu, 30 Maret 2013 bertempat di Balai Dusun Tambakbayan, Caturtunggal, Depok, Sleman, diselenggarakan Sarasehan dengan Tajuk "Membangun Kebersamaan Dalam Keragaman Untuk Mengokohkan Yogyakarta Sebagai Rumah Kita Bersama". Acara yang diselenggarakan oleh Forum Pendampingan Penguatan Kedamaian (FP2K) dan Gerakan Masyarakat Damai Nusantara (GEMA) dihadiri oleh Muspika Depok dan perwakilan dari para perantau asal Indonesia Timur. Pemilihan dusun Tambakbayan sebagai tempat berlangsungnya acara dikarenakan pada lokasi inilah pusat perantau Indonesia Timur menetap. Sarasehan ini sendiri merupakan tindaklanjut atas beberapa pertemuan sebelumnya antara perantau asal Indoensia Timur dengan Sri Sultan yang memang secara khusus membahas tentang keharmonisan antar umat beragama dan juga tenggang rasa antar suku.


"Mari kita kedepankan kekitaan Kita, bukan keakuan kita" sebut Camat Depok mengutip apa yang pernah disampaikan Sri Sultan saat membuka Sarasehan. Camat Depok juga menambahkan Untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai rumah bersama harus terus dilakukan komunikasi kebersamaan, yaitu komunikasi yang berbasis lintas agama, suku dan budaya. Senada dengan Camat Depok, KH. Abdul Muhaimin dari Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) DIY yang menjadi narasumber pada acara tersebut menyebutkan sejak dahulu kultur Mataram adalah kultur kebersamaan, oleh karena itu perlu adanya sikap saling menghargai antar penghuninya. KH. Muhaimin yang merupakan pengasuh Ponpes Nurul Ummahat Kota Gede juga menyebutkan kompleksitas Yogyakarta sebagai Laboratorium Kehidupan sangat mendukung para pencari ilmu untuk meraih sukses walapun tidak dengan sekolah formal sekalipun.

Di tempat yang sama, Sosiolog Zuli Qodir yang menjadi salah satu nara sumber juga menghimbau agar perantau yang datang ke Yogyakarta hendaknya berbaur dengan masyarakat lokal. "jangan hanya kumpul-kumpul di asrama saja, gabunglah dengan penduduk lokal, siapa tau dijadikan menantu" ungkap Dosen yang satu ini sambil tertawa. Zuli Qodir yang juga perantau asal Banjar ini menyebutkan tips agar nyaman hidup di Jogja yaitu dengan belajar bahasa jawa, selain itu juga perlu diketahui bahwa orang jawa itu suka basa basi untuk melarang sesuatu, jadi harus dipahami sebagai pendatang.


Yang menjadi istimewa dalam acara sarasehan ini adalah dipercayakannya Barisan Mahasiswa Kaimana (BAMANA) membawakan Tarian Perahu sebagai pembuka acara. Muamar Furu selaku Ketua menyebutkan bergabungnya BAMANA dalam forum perdamaian ini adalah merupakan bentuk tanggungjawab mahasiswa asal Kaimana untuk bersama dengan perantau lain menjaga keharmonisan kota Yogyakarta. Tarian Perahu yang dibawakan oleh sepuluh orang ini diiringi oleh empat buah lagu yaitu "Adena Ruguru Mumri" (Iratutu), "Tawerawia Moirawaya" (Kambrauw), "Iuya Ipuya" (Kamoro) dan "Ora Ora Mopo" (Timika). Selain tarian Perahu dari Kaimana, ditampilkan juga tarian Tebe yang dibawakan oleh para mahasiswa asal Nusa Tenggara Timur. (aq)

Foto : Reno Simpel

4 komentar:

  1. Rumah Kita Yogyakarta sebuah ide menarik jika bisa diwujudkan. Acaranya cukup bagus.

    BalasHapus
  2. mewujudkan yogyakarta sebagai rumah kita bersama. demi kemajuan kita ke depan.

    BalasHapus
  3. mewujudkan yogyakarta sebagai rumah kita bersama. demi kemajuan kita ke depan.

    BalasHapus