Jumat, 25 Januari 2013

Memaknai Kaimana Sebagai Nigre Itro Esuem

Akhir-akhir ini, Kaimana tak seindah tembang Senja Indah di Kaimana, yang dilantumkan Alvian pada era tahun 1970-an. Entah mengapa keindahan itu luntur dalam dua tahun terakhir. Peradaban Kota kecil yang terletak di Teluk Kaimana itu, ibarat seorang Raja yang duduk di kursi menghadap ke Laut Selatan. Tanjung Bicari adalah Tangan kirinya dan Tanjung Simora adalah Tangan kanannya, seakan bertahta sedang menerima semua persoalan sosial kemasyarakatan yang sedang terjadi saat ini. Deretan bukit yang menghijau di puncak Gunung Loway dan hamparan laut yang membentang di bagian selatan, memberikan nilai tersendiri bagi mereka yang mendiami Bumi Senja Indah Kaimana. Masih adakah harapan Kaimana seperti makna Nigre Itro Esuem?

Laporan : Monic Andung-Kaimana
Angin dan cuaca ekstrim yang terjadi beberapa hari terakhir, memaksa sejumlah nelayan untuk tidak melaut. Mendung yang memayung di atas cakrawala Kota tua Kaimana, juga mengurungkan niat Imran Adi, salah satu nelayan di Kampung Baru, untuk tidak melaut. Dia hanya membersihkan perahunya dan berusaha memperbaiki alat tangkapnya. Wajahnya yang tidak seceria dulu, terbaca dari raut mukanya saat memisahkan rerumputan dari jaring yang berada di dalam perahunya. Tak banyak bicara, hanya tangannya terus bergerak. Sesekali dia harus menarik nafas panjang, seolah ada beban yang teramat berada di pundaknya. Kami punya kerja hanya melaut saja, jadi dari hasil tangkapan itu, baru kami bisa dapat uang untuk bisa beli beras dan keperluan rumah tangga kami, akunya saat membuka percakapan.
Beban Imran Adi pun sama dengan beban yang dirasakan Yohanna, salah seorang penjual sayur di Pasar Inpres Krooy. Yohanna yang seharian menjajakan sayur mayur, sibuk menawarkan sayur yang diturunkan pemilik sayur dari dalam angkutan pedesaan jurusan Tanggaromi-Kaimana. Dia harus memikul melewati hiruk pikuknya pasar pagi itu, dan menatanya di meja kayu yang hampir roboh dimakan usai, di tengah pasar. “Kita untung tidak terlalu banyak, hanya seribu atau dua ribu untuk ongkos sekolah anak-anak,” ujar Yohanna sambil menyirami daun-daun sayur yang sudah mulai layu disengat matahari.
Itulah dua dari sekian banyak persoalan yang mendera rakyat di Kaimana saat ini. Rakyat masih terlilit ekonomi, dan masih banyak pula mereka yang menderita. Di kampung-kampung nun jauh, rakyat masih terus berteriak karena mahalnya harga kebutuhan pokok, di tengah lesunya produktifitas mereka. Hasil pertanian dan perikanan yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka, menjadi sebuah persoalan serius yang dihadapi rakyat. Bocah kampung tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, cakupan gizi yang cukup, juga merupakan persoalan yang sudah mengurat akar di tengah upaya pemerintah daerah meningkatkan kualitas kesehatan rakyat.
Pemberdayaan yang tidak berjalan optimal, memaksa semua warga yang berada di wilayah perkampungan, untuk hijrah ke Kota. Kota menjadi hiruk pikuknya warga kampung, sementara di kampung sunyi dan senyap, seakan tidak berpenduduk. Aktivitas sekolah menurun, karena tak ada guru, menambah daftar panjang persoalan yang terjadi di kampung.
Dua tahun terakhir, pemerintahan tidak berjalan efektif. Janji pemerintah untuk terus menggiatkan perekonomian rakyat, hanyalah sebuah lips service. APBD pun hanya sebagai senjata ampuh melumpuhkan kondisi politik, social dan kemasyarakatan, tidak bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Banyak proyek untuk kepentingan orang perorangan maupun kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan memajukan rakyat. Riuh dan gaduh politik yang terus terjadi merupakan akumulasi dari semua persoalan yang dihadapi rakyat. Rakyat berteriak tidak ada keadilan, merupakan sebuah bukti bahwa pemerintahan belum optimal memberikan rasa keadilan itu kepada rakyat, yang memiliki keadilan itu.
Kaimana pun terus menangis. Persoalan demi persoalan yang menoreh tanah ini seakan tidak pernah berhenti. APBD yang adalah milik rakyat, digelinding hingga harus berhadapan dengan politik. Rakyat pun menjadi korban akibat pertikaian itu. Rentetan peristiwa social kemasyarakatan yang terjadi pun, telah memaksa semua pihak untuk berpikir jernih, mulai dari Bupati, Wakil Bupati, Pimpinan DPRD, para anggota DPRD, Sekda dan birokrasinya hingga pimpinan SKPD dan para stafnya. Persoalan demi persoalan tersebut pun dampaknya adalah rakyat. Rakyat menjadi korban terakhir dari semua persoalan yang ada saat ini.
Kini memasuki tahun 2013, yang diawal tahun yang sudah mulai kusut tak terurai, semua kita harus bangkit dan menatap ke depan, yang adalah satu-satunya cara untuk mengoptimalkan jalannya penyelengaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Semua kita harus berpartisipasi, untuk mengoptimalkan seluruh program dan kegiatan dari janji serta hutang-hutan kita yang tertunda selama ini di APBD tahun 2013. Semua pihak harus merendah diri, dan mengevaluasinya. Ego sektoral yang selama ini menjadi dinding pemisah harus kita robohkan. Saling membenci dan saling curiga, serta adanya gap-gap tertentu dalam kelompok selama ini, harus dihilangkan, jika ini terus terjadi maka rakyatlah yang akan menjadi korban. Jangan kita merasa diri paling benar, akhirnya saling menyalahkan, tetapi mari kita menerima kesalahan dan mengakuinya sebagai manusia biasa, dan berusaha untuk maju untuk kepentingan rakyat.
Memaknai Kaimana dan seluruh seluk beluknya, tidak harus saling membenci dan saling curiga mencurigai. Nigre itro Esuem, adalah kalimat yang diujarkan nenek moyang Kaimana sejak dulu, bahwa mereka menerima semua orang yang datang dan mendiami Tanah ini. Nigre Itro Esuem, sebagai negeri milik semua orang. Untuk itu, di awal tahun ini, semua pihak harus membuka diri dan merangkul semua orang di atas Tanah ini. Karena seperti seorang Raja yang duduk bertahta mengarah ke laut Selatan, mari kita semua menerima diri dan mengakui semua kesalahan kita, dan mulai berjuang untuk kepentingan rakyat.***

Sumber : http://www.radarsorong.com/index.php?mib=berita.detail&id=6625#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar