Sabtu, 19 Januari 2013

Perempuan Afganistan Temukan Suara lewat Goresan Pena


Dengan burka yang menutupi tubuh mereka, perempuan Afghanistan sering 
dianggap 'bisu.' Namun sebuah proyek menulis memberi mereka kesempatan 
untuk 'bersuara' (foto: awwproject.org).


Bagi sebagian perempuan Afghanistan, menulis online memberi mereka keterampilan komputer dan bahasa serta keberanian untuk menceritakan kisah mereka.

Perempuan Afghanistan sering digambarkan secara menyedihkan dan buruk, dilarang mengenyam pendidikan atau bekerja di luar rumah, harus bersembunyi di balik "burqa," dan dibungkam.

Proyek Menulis Perempuan Afghanistan (AWWP) didirikan tiga tahun lalu untuk mengubah citra tersebut.

Di dalam ruang virtual yang diciptakan oleh AWWP, perempuan memiliki kebebasan untuk menulis tentang apa pun yang mereka inginkan di bawah asuhan tim relawan guru dan penulis.

Zahra A., yang berusia 20-an, senang bisa menceritakan kisahnya melalui
situs itu. Zahra mengajarkan bahasa Inggris di sebuah panti asuhan dan menulis tentang pengalaman hidup dan aspirasi gadis Afghanistan.

Novelis Amerika Naomi Benaron adalah pembimbingnya. "Dia adalah puteri dari petani yang tidak berpendidikan yang mengutamakan pendidikan bagi anak-anak mereka di tengah tentangan dari masyarakat dan keluarga," tutur Benaron.

Masha Hamilton, wartawan dan novelis Amerika, mendirikan Proyek Menulis Perempuan Afghanistan pada tahun 2009, sepuluh tahun setelah kunjungan pertamanya ke Kabul.

Menurut Hamilton, "Sangat penting bagi mereka untuk menceritakan kisah mereka sendiri, dan menyuarakannya dengan lantang. Ketika mereka menceritakan kisah mereka, mereka melihatnya dengan cara yang berbeda, lalu membuat perubahan yang tepat bagi diri mereka sendiri."

Selama tiga tahun terakhir, jumlah perempuan yang ikut ambil bagian dalam proyek ini telah berkembang pesat, seiring banyaknya perempuan yang berbagi pengalaman dengan teman dan keluarga mereka.

Baru-baru ini, AWWP pindah dari dunia maya ke dalam bangunan fisik di ibukota, Kabul, di mana perempuan bisa datang, menggunakan Internet dan saling mengilhami satu sama lain.

Mahnaz yang berusia 20 tahun bergabung dengan kelompok itu tiga tahun yang lalu. Dalam puisinya yang berjudul "Merestui Ketidaksetaraan," dia menelusuri bagaimana perempuan menjadi korban budaya dan agama.

"Saya merasa tidak sendirian dan ingin ada perubahan,"tulis Mahnaz dalam puisinya.

Mahnaz ingin terus menulis dan bercita-cita menjadi novelis. Dia mengatakan Proyek Menulis Perempuan Afghanistan membuka kesempatan baginya dan penulis lain untuk bersuara dan menjadi kekuatan bagi perubahan.

Sumber : voaindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar