Kamis, 07 Februari 2013

Déjà vu

Déjà vu ada kalanya membangkitkan keingintahuan kita terhadap persepsi kita sendiri beserta kemisteriusan di baliknya. Tapi adakah sisi ilmiah yang menjelaskan fenomena unik ini?
Anda pernah berada di suatu tempat yang sama sekali tidak pernah Anda kunjungi, namun timbul perasaan bahwa Anda pernah mengunjungi tempat tersebut sebelumnya? Atau dalam contoh kasus lain, Anda tenggelam dalam sebuah percakapan dengan seorang teman dan tiba-tiba merasa pernah terlibat dalam percakapan itu sebelumnya? Jika pernah, artinya Anda pernah mengalami fenomena yang dikenal sebagai déjà vu.

Hampir semua orang pernah mengalami perasaan ini setidaknya sekali dalam hidup. Pemandangan, suara, rasa atau bahkan bau sesuatu, dalam situasi tertentu, membuat kita berpikir bahwa kita pernah mengalaminya meskipun kita tahu bahwa kita tidak mungkin pernah mengalaminya.

Déjà vu adalah bahasa Perancis, yang artinya ”pernah melihat”, didefinisikan sebagai pengalaman timbulnya perasaan pernah menyaksikan atau mengalami suatu situasi saat ini, meskipun keadaan dari pengalaman sebelumnya tidak pasti dan tidak terbayangkan. Istilah ini berasal dari seorang peneliti psikis Perancis, Émile Boirac (1851-1917) dalam bukunya yang berjudul L’Avenir des sciences psychiques (Masa Depan Ilmu Psikis).

Kepercayaan tentang déjà vu umumnya dikaitkan dengan pengalaman inkarnasi, kehidupan masa lalu individu, yang bisa terefleksi ke dalam ingatan saat kita mengalami situasi-situasi tertentu. Tapi jika Anda ingin meninjaunya dari sisi ilmiah, Anda tidak akan menemukan istilah ‘reinkarnasi’, atau ‘telepati’, atau ‘wahyu’ dan sebagainya. Umumnya, para peneliti memandang déjà vu sebagai kesalahan persepsi memori, munculnya kesan palsu di saat sebuah pengalaman menjadi “teringat” – semacam ‘sulap tangan’ otak saat memilah secara kolektif fitur-fitur sebuah pengalaman untuk menimbulkan ingatan masa lalu sehingga menipu pikiran kita seolah-olah kita pernah mengalaminya.

Sigmund Freud secara khas mengungkapkan fenomena ini dari segi kesadaran dan bawah sadar. Sebuah memori yang direpresi dapat mendorong perasaan déjà vu ketika sesuatu dalam pengalaman sadar menyentuhnya – pengalaman “sebelumnya” paling sering terkait dengan mimpi, meskipun dalam beberapa kasus terdapat pula perasaan tegas yang dialami benar-benar pernah terjadi di masa lalu.

‘Kenangan’ dari sumber lain

Kita memiliki banyak kenangan yang tersimpan, yang hadir dari berbagai aspek kehidupan kita, tidak hanya pengalaman kita sendiri namun juga termasuk film, gambar yang pernah kita lihat, atau buku-buku yang pernah kita baca. Kita dapat memiliki kenangan yang sangat kuat dari hal yang pernah kita baca atau melihat tanpa benar-benar mengalaminya, dan seiring waktu, kenangan ini dapat terdorong kembali ke dalam pikiran kita. Ketika kita melihat atau mengalami sesuatu yang sangat mirip dengan salah satu kenangan, maka muncullah perasaan déjà vu.

Sebagai contoh; Herman Sno, salah satu ahli psikologi terkemuka asal Belanda, telah mengusulkan bahwa memori tersimpan dalam format yang mirip dengan yang digunakan untuk menyimpan gambar holografik. Aspek holografi yang menjadi pusat tesis Sno ini adalah bagaimana hologram menyimpan informasi.

Secara khusus, Sno menunjukkan bahwa, tidak seperti halnya fotografi tradisional, setiap bagian hologram mengandung semua informasi yang dibutuhkan untuk memproduksi keseluruhan gambar. Semakin kecil bagian yang digunakan, maka semakin berkurang ketepatan (atau semakin kabur) gambar yang dihasilkan. Menurut Sno, memori manusia bekerja dengan cara analog. Pengalaman déjà vu terjadi ketika suatu situasi saat ini, secara menipu, cocok dengan salah satu gambar-gambar kabur dari peristiwa masa lalu. Ini agak seperti meyakinkan diri sendiri bahwa Anda mengenali seseorang dalam gambar kamera keamanan yang buram.

Proses pengolahan informasi

Teori lain adalah berdasarkan pada cara otak kita memproses informasi baru dan bagaimana menyimpan memori jangka panjang dan jangka pendek. Robert Efron menguji gagasan ini di Rumah Sakit Veteran di Boston pada tahun 1963, dan bertahan sebagai teori yang paling valid hingga saat ini. Ia mengusulkan bahwa respon neurologis yang tertunda dapat menyebabkan déjà vu. Karena informasi masuk ke dalam pusat-pusat pengolahan otak melalui lebih dari satu jalur, maka bisa saja terjadinya pencampuran informasi yang tidak tersinkronkan secara tepat.

Efron menemukan bahwa lobus temporal pada otak kiri bertanggung jawab untuk menyortir informasi yang masuk. Ia juga menemukan bahwa lobus temporal ini menerima informasi yang masuk dua kali dengan sedikit penundaan (dalam skala milidetik) di antara transmisi – sekali secara langsung dan sekali lagi setelah jalan memutar melalui belahan kanan otak. Jika transmisi kedua mengalami penundaan sedikit lebih panjang, maka otak mungkin menempatkan cap yang salah pada sedikit informasi dan mendaftarkannya sebagai memori sebelumnya karena sudah diproses. Hal ini bisa menjelaskan perasaan akrab yang tiba-tiba.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh psikolog Alan Brown dan Elizabeth Marsh, dipublikasikan dalam Psychological Science di tahun 2009, secara signifikan memperluas teori “persepsi ganda” yang menghasilkan déjà vu, menunjukkan bahwa kilasan adegan bisa terasa tampak akrab bila sepenuhnya dirasakan beberapa saat kemudian. Katakanlah, Anda masuk ke dalam sebuah museum baru, sambil melirik karya seni Anda berbicara di ponsel. Setelah menutup telepon, Anda melihat sekeliling dan rasanya Anda sudah ada di tempat tersebut sejak lama.

Berdasarkan teori persepsi ganda, kilasan awal menciptakan memori lemah tanpa konteks ruang-waktu. Bila Anda kemudian secara sadar mendaftarkan adegan tersebut, maka otak menghubungkan dua memori – dan di situlah Anda memperoleh perasaan yang aneh.

Brown dan Marsh menciptakan ulang pengalaman ini dalam laboratorium dengan menggunakan simbol-simbol unik. Dalam percobaan mereka, simbol-simbol itu melintas pada tingkat subliminal di layar komputer, diikuti dengan pandangan jangka panjang simbol yang sama atau berbeda, atau sama sekali tidak ada simbol.

Saat kilasan tersebut diikuti dengan simbol-simbol yang identik, para partisipan lima kali lebih mungkin untuk mengatakan bahwa mereka sudah pernah melihat simbol-simbol tersebut sebelum percobaan.

Jadi, Anda masih berpikir bahwa déjà vu berhubungan dengan hal-hal mistis sementara ada penjelasan yang lebih masuk akal? Jika Anda merasa perlu mencari jawaban yang lebih memuaskan, satu hal yang perlu diingat: Pikiran Anda bisa menipu Anda sendiri.

REFERENSI:

  • Berrios, G.E. (1995). Déjà vu and other disorders of memory during the nineteenth century. Comprehensive Psychiatry 36: 123–129
  • Brown, Alan S. (2004). The Déjà Vu Experience. Psychology Press. ISBN 1841690759
  • Herman N Sno,  Don H Linszen. The déjà vu experience: Remembrance of things past? American Journal of Psychiatry, Vol 147(12), Dec 1990, 1587-1595
  • Robert Efron. TEMPORAL PERCEPTION, APHASIA AND DÉJÀ VU. American Physiological Society, Volume 86 ( 3 ): 403, Oxford University Press – Sep 1, ISSN 1963 0006-8950
  • Alan S. Brown, Elizabeth J. Marsh. Creating Illusions of Past Encounter Through Brief Exposure. Psychological Science, May 2009 20: 534-538, DOI: 10.1111/j.1467-9280.2009.02337.x


Sumber : http://www.faktailmiah.com/2011/10/31/deja-vu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar