Pembangunan bertujuan mengubah kehidupan manusia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hal ini juga berlaku dalam pembangunan Universitas X sebagai salah satu Universitas Y di Indonesia. Sebuah pembangunan tentunya berarti sejumlah perubahan dan perubahan ini bukan hanya pada tingkat fisik namun juga pada tingkatan non fisik, seperti psikologis manusia. Kontroversi yang berkembang sekarang dalam program pembangunan di X dalam kaitannya dengan psikologis manusia salah satunya adalah masalah penebangan pohon untuk pembangunan. Di sisi lain, sebagai institusi keilmuan, civitas akademika X harus berargumentasi secara ilmiah atas hal-hal yang menjadi perdebatan dalam proses pembangunan X. Artikel ini akan berargumentasi secara ilmiah kalau pemotongan pepohonan akan berdampak buruk bagi mahasiswa, yang pada gilirannya berarti kontradiktif dengan tujuan pembangunan itu sendiri, yaitu mengubah kehidupan manusia, dalam hal ini mahasiswa dan dosen, menjadi lebih baik dari sebelumnya.
1. Pengaruh Pepohonan terhadap Segi Afektif dan Kognitif Manusia
Secara praktis, alam berarti satu atau beberapa pepohonan serta tempat ia tercipta (Kaplan, 1992). Di masa kini, kita juga mengkonsepsikan alam sebagai lahan tanaman yang belum terjamah oleh pembangunan. Orang berinteraksi dengan alam baik secara aktif maupun pasif. Dalam interaksi ini, tentu manusia juga sedikit banyak dipengaruhi atau mempengaruhi alam. Lewis (1994) menjelaskan kalau pengaruh alam pada manusia ada dua jenis yaitu pengaruh mental dan pengaruh fisik. Pengaruh ini bersifat positif yang berarti konstruktif, bukannya destruktif. Lebih jauh, pengaruh yang muncul juga tidak terikat oleh budaya, etnisitas, usia, tempat tinggal, maupun pekerjaan (Kaplan, 1992).
Sejumlah besar peneliti telah menemukan kalau manusia mengalami peningkatan afeksi dan kesenangan ketika melihat pemandangan yang penuh dengan tetumbuhan. Sebagai contoh, Hull dan Harvey (1989) menemukan kalau partisipan dalam penelitian mereka mengalami peningkatan rasa senang yang sejalan dengan peningkatan kepadatan pepohonan yang ia lihat. Sementara itu, Thayer dan Atwood (1978) meminta partisipan penelitiannya untuk memberikan nilai berdasarkan perasaan nyaman yang muncul pada dirinya ketika melihat sekumpulan gambar. Gambar-gambar yang mereka tampilkan adalah gambar pemandangan: pemandangan pinggiran kota, pemandangan daerah industri, pemandangan pusat perbelanjaan, pemandangan taman kota, dan pemandangan jalan raya. Ternyata partisipan yang memandang gambar yang memuat tanaman didalamnya menilai gambar tersebut lebih membuat nyaman dirinya ketimbang partisipan yang memandang gambar yang tidak memuat tanaman. Patut diperhatikan kalau partisipan dalam studi ini memberi nilai bukan berdasarkan perbandingan. Partisipan tidak diminta melihat gambar yang ada tanaman dan tidak ada tanaman lalu memberi nilai, tetapi partisipan hanya diminta melihat gambar yang ada tanaman dan memberi nilai. Partisipan lain yang tidak melihat gambar yang ada tanaman, diminta melihat gambar yang tidak ada tanaman. Secara rata-rata, nilai yang diberikan partisipan yang melihat tanaman lebih tinggi dari yang diberi partisipan yang tidak melihat tanaman.
Sheets dan Manzer (1991) melakukan penelitian sejenis untuk memeriksa hubungan persepsi terhadap kualitas hidup suatu wilayah terhadap rasa senang yang muncul pada diri partisipan. Wilayah yang ditampilkan hanya berbeda dalam jumlah tanaman saja. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya. Kelompok yang melihat pemandangan yang berisi tanaman menyatakan kalau pemandangan tersebut memiliki kualitas hidup yang tinggi dan tingkat kenyamanan mereka juga lebih tinggi dibandingkan partisipan yang melihat pemandangan tanpa tanaman.
Studi yang dilakukan Galindo dan Rodriguez (2000) menemukan kalau partisipan yang menyatakan kalau apa yang ia lihat menyenangkan secara estetika juga memiliki perasaan yang lebih positif daripada yang menyatakan kalau apa yang mereka lihat memiliki tingkat estetika yang rendah. 25% dari partisipan yang menyatakan pemandangan yang ia lihat menyenangkan beralasan kalau kesenangan tersebut muncul dari pemandangan yang terlihat lebih alami. Sejalan dengan itu pula, 24% partisipan yang menyatakan pemandangan yang ia lihat tidak menyenangkan disebabkan karena kurangnya kealamian tempat tersebut.
Para peneliti di atas menyimpulkan bahwa respon manusia pada tanaman bukan hanya bersifat estetika, namun juga bersifat afektif dan kognitif. Tanaman dapat membuat orang merasa lebih nyaman, dan membuat mereka memandang daerah urban menjadi lebih positif (Sheets and Manzer, 1991, p. 302). Wolf (1996) juga menyatakan kalau hutan kota memberikan kualitas kehidupan yang lebih memuaskan bagi masyarakat perkotaan.
2. Pengaruh Pepohonan terhadap Psikologi Manusia
Sebuah studi yang dilakukan oleh Parson et al (1998) menemukan kalau partisipan yang memandang pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan yang ia lewati memberikan pernyataan kalau tingkat stress yang mereka rasakan rendah dan lebih cepat sembuh dari gangguan stress daripada mereka yang tidak melihat adanya pepohonan di sepanjang jalan yang ia lalui.
Russell dan Uzzell (1999) menyelidiki pengaruh fisiologis tanaman menggunakan subjek-subjek dalam sebuah ruang kantor. Dalam studi ini, subjek ditempatkan di kantor dengan tanaman atau di kantor tanpa tanaman dan diberi waktu 10 menit untuk membiasakan diri dengan lingkungannya. Mereka lalu diminta mengerjakan tugas matematika berupa menambahkan sejumlah bilangan tanpa memakai jari dan tanpa mengucapkannya. Kemudian partisipan diberi 10 menit waktu istirahat. Para peneliti mengukur konduktivitas kulit, detak jantung, dan tekanan darah partisipan saat istirahat di kantor, mengerjakan tugas matematika, maupun istirahat terakhir. Ada perbedaan sangat nyata antara konduktivitas kulit di antara kedua kelompok. Karena konduktivitas kulit merupakan indikator stress, hal ini menunjukkan kalau kelompok yang konduktivitas kulitnya rendah merupakan kelompok yang tingkat stressnya rendah. Ternyata kelompok yang memiliki konduktivitas kulit rendah adalah kelompok yang berada di kantor yang berisi tanaman. Lebih jauh, pemulihan mereka dari stress juga lebih cepat ketimbang kelompok yang berada di kantor tanpa tanaman.
Kita tahu dari penelitian seperti penelitian Glass dan Singer (1972) dan Hockey (1983) kalau stress menghambat mahasiswa melakukan tugas kognitif, termasuk dalam latar pendidikan seperti universitas. Penelitian Ulrich (1981) menemukan kalau mahasiswa yang tidak stress di Swedia memiliki konsentrasi tinggi, keadaan emosional yang lebih positif, dan mengalami relaksasi (diukur lewat EEG yang merekam aktivitas listrik otak). Isen (1990) menemukan kalau skor tes meningkat tajam pada tes berpikir tingkat tinggi dan tes kreativitas ketika seseorang berada dalam kondisi emosi yang positif.
Di rumah sakit, rasa takut rata-rata yang dialami subjek ketika menunggu operasi lebih rendah ketika tanaman hadir di ruangan ketimbang ketika tidak ada tanaman di ruang tunggu tersebut (Russell dan Uzzell, 1999). Ulrich (1984) menemukan kalau pasien bedah juga pulih dengan cepat ketika ada pemandangan tanaman di jendela kamar mereka ketimbang pasien yang tidak melihatnya. Penemuan-penemuan ini menunjukkan kalau respon manusia pada lingkungan fisik mencakup kesejahteraan psikologis maupun fisiologis.
3. Pengaruh Pepohonan terhadap Fisiologi Manusia
Beberapa studi juga telah menemukan perbedaan fisiologis pada individu yang bekerja di daerah dengan pemandangan alam atau tanaman ketika dibandingkan dengan mereka yang bekerja tanpa pemandangan demikian. Sebagai contoh, Kaplan (1992) menemukan kalau karyawan melaporkan lebih sedikit insiden sakit kepala dan penyakit lain ketika melihat pemandangan alam ketika bekerja. Sementara itu, Lohr, Pearson-Mims, dan Goodwin (1996) menemukan kalau tanaman dalam lingkungan perkantoran meningkatkan produktivitas dan menurunkan stress. Chang dan Chen (2005) meneliti respon psikofisiologis pada pemandangan di jendela dan tanaman dalam ruangan di ruang kerja. Penemuan mereka mengungkapkan kalau partisipan merasa tidak nervous dan tidak mengalami rasa takut ketika berada dalam ruangan yang memiliki tanaman atau memiliki jendela yang terbuka dan memperlihatkan tanaman dan alam di luar jendela.
Studi juga menunjukkan para pekerja yang melakukan fungsi pekerjaan mereka di kantor dengan jendela menghadap tanaman atau tanaman di dalam ruangan memiliki kepuasan kerja lebih tinggi. Randall dan Shoemaker (1992) menemukan adanya korelasi positif antara kepuasan kerja dengan keberadaan tanaman di dalam ruang kerja di sebuah kawasan perkantoran di Virginia utara. Dalam sebuah studi yang menyelidiki kualitas kepuasan kerja para pekerja di kantor dengan jendela atau tanpa jendela dan tanaman di dalam ruang atau tanpa tanaman di dalam ruang, Dravigne (2006) menemukan kalau tanaman dalam ruangan yang hidup dan pemandangan jendela pada ruang hijau memiliki pengaruh positif pada kepuasan kerja keseluruhan karyawan (terutama pada karyawan laki-laki), persepsi karyawan terhadap kualitas hidupnya secara keseluruhan, dan persepsi karyawan terhadap lingkungan kerja mereka.
4. Pengaruh Pepohonan terhadap Mahasiswa
Cotton, Dollard, dan de Jonge (2002) secara teoritis membandingkan apa yang mahasiswa lakukan di universitas dengan sebuah pekerjaan untuk mempertimbangkan hubungan antara lingkungan kerja, kesejahteraan, dan kinerja. Mereka menjelaskan, “seperti para buruh, mahasiswa bekerja dalam struktur hirarkis, dengan tugas yang jelas, dan tingkat pengendalian dan dukungan yang beragam” (hal. 148). Karenanya, mereka menyimpulkan kalau hasil yang diperoleh dari studi pada individu di dunia kerja juga dapat digeneralisasi pada mahasiswa yang ada di dalam kampus.
Beberapa pakar berpendapat kalau universitas harus dirancang untuk memfasilitasi kualitas kehidupan tertentu (Caws, 1970). Griffith (1994) mengatakan, “para pemimpin perguruan tinggi harus membentuk ulang prioritas mereka untuk mencakup penciptaan kampus yang menarik dan melibatkan sehingga kondusif untuk aktivitas maupun ketenangan” (hal. 645). Lebih jauh, beliau menambahkan, “Ruang terbuka atau habitat kampus yang menarik dalam artian menyisakan bentuk-bentuk alaminya seperti pepohonan dan aliran sungai membantu meningkatkan identitas kampus, memacu sentimentalisme alumni, menciptakan naluri komunitas yang kuat, dan meratakan tingkat kepadatan di kampus” (hal. 648). Beliau menekankan, “kampus yang di tata dengan baik dengan ruang terbuka yang cukup akan membantu merekrut dan menciptakan mahasiswa dan fakultas terbaik. Persepsi seorang mahasiswa pada bagaimana penampilan kampus berperan kritis pada pemilihan lembaga pendidikan tinggi” (Griffith, 1994, hal. 650). Think (2003) menyatakan kalau, “sebuah penekanan harus diletakkan untuk memastikan kalau semua lingkungan mengajar memberikan kondisi terbaik yang mungkin untuk merangsang pembelajaran” (hal.2).
Abu-Ghazzeh (1999) menekankan kalau “dalam peta mental pengguna, yang ada adalah ruangan terbuka, bukannya bangunan dengan ruangan-ruangan terpisah, yang paling mudah diingat. Ia adalah ruang tempat orang berkumpul untuk berjalan, bicara, belajar, dan bersantai. Itu adalah ruang yang digunakan orang dan dimana mereka saling bertemu” (hal. 795).
Memahami hubungan manusia/tanaman dari sudut pandang perencana universitas dapat terbukti bermanfaat, karena “sebagian besar kampus dan universitas … tidak memberikan penekanan yang sama pada kualitas lingkungan fisik dimana proses belajar formal terjadi … mutu arsitektur, topografi, lansekap” (Sturner, 1972, hal. 97) padahal penelitian telah menunjukkan kalau “lingkungan fisik dapat dimanipulasi untuk mencapai hasil fisik atau perilaku tertentu” (Drew, 1971, hal. 447).
Selain perspektif teoritis, para peneliti juga telah menemukan kalau lingkungan fisik di universitas mempengaruhi mahasiswa dan pengalaman akademisnya. Salah satu studi terawal mengenai hal ini menemukan kalau siswa SMA dalam ruang kelas berjendela pada umumnya lebih senang daripada siswa dalam ruangan tanpa jendela (Karmel, 1965).
Pada studi pada mahasiswa, Ulrich (1979) menemukan kalau mahasiswa memiliki perasaan yang lebih positif setelah terpapar pada pemandangan alam dibandingkan mereka yang terpapar pada lingkungan perkotaan, setelah mengalami tekanan dari ujian mata kuliah selama satu jam. Segera setelah ujian, mahasiswa dinilai keadaan perasaannya, dan melihat 50 slide pemandangan alam atau perkotaan. Setelah melihat slide, partisipan kembali dinilai keadaan perasaannya. Analisis statistik menemukan perbedaan nyata pada keadaan perasaan mahasiswa pasca perlakuan, terutama pada ukuran kemarahan, kesedihan, dan kesenangan, yang menunjukkan kalau individu yang stress merasa lebih baik setelah terpaparkan pemandangan alami (hutan) ketimbang pemandangan buatan (perkotaan).
Hartig, Mang, dan Evans (1991) memperoleh hasil yang sama yang menunjukkan kalau pemandangan alam mampu melepaskan stress dan meningkatkan kinerja tugas membaca ketimbang pemandangan buatan. Begitu juga, Tennessen dan Cimprich (1995) menyelidiki pengaruh pandangan pada alam. Partisipan dalam studi ini menyelesaikan ujian mereka baik dengan atau tanpa pemandangan alam. Para peneliti membandingkan skor mahasiswa yang mengerjakan di ruangan dengan pemandangan alam dengan mahasiswa yang mengerjakan di ruangan tanpa pemandangan alam. Mereka menemukan kalau mahasiswa yang mengerjakan ujian dalam ruangan dengan pemandangan alam memiliki skor lebih tinggi daripada kelompok yang mengerjakan dalam ruangan tanpa pemandangan alam.
Korpela, Hartig, Kaiser, dan Fuhrer (2001) menyelidiki tempat favorit para mahasiswa. Mereka menemukan kalau 48% mahasiswa memilih tempat alami seperti pantai, sebagai tempat favorit dan ini adalah klasifikasi tertinggi. Lebih jauh, 77% mahasiswa mengatakan perasaan santai, tenang, dan nyaman yang berasosiasi dengan tempat-tempat tersebut. Para peneliti berpendapat kalau perasaan ini menunjukkan kalau daerah alamiah memiliki pengaruh restoratif pada mahasiswa dan meningkatkan kesejahteraan emosional mereka (Korpela et al., 2001). Penelitian tambahan juga menemukan kalau keberadaan tanaman interior dalam ruang kelas meningkatkan minat mahasiswa pada subjek, kepuasan mahasiswa pada mata kuliah dan dosen, dan juga nilai yang tinggi (Doxey, 2006).
Bukti juga menyarankan kalau lingkungan fisik universitas penting bagi mahasiswa. Boyer (1987) menemukan kalau penampilan kampus adalah faktor paling signifikan bagi mahasiswa dalam memutuskan universitas mana yang harus dimasuki. Im (1984) menemukan kalau tutupan tanaman adalah satu dari tiga prediktor penting untuk pilihan visual sebuah kampus yang familiar baik bagi mahasiswa sarjana maupun pasca sarjana.
Lebih jauh, dalam pertanyaan bebas, keberadaan tanaman adalah alasan yang paling sering disebutkan untuk memilih suatu lokasi. Dalam sebuah studi yang menyelidiki pilihan untuk berbagai lokasi perkotaan, Herzog, Kaplan, dan Kaplan (1982) menemukan kalau mahasiswa sangat menghargai alam dalam kota ketika memberi nilai pemandangan yang tidak familiar. Abu-Ghazzeh (1999) menemukan kalau faktor-faktor utama yang menarik mahasiswa ke ruang terbuka tertentu adalah lansekap daerah dan kemampuan untuk bersosialisasi di daerah tersebut. Lebih lanjut, ia berpendapat kalau ruangan di antara gedunglah, bukan gedung itu sendiri, yang paling diingat oleh individu.
Penelitian telah menunjukkan kalau mahasiswa sangat menghargai lingkungan fisik universitas dan latar alaminya. Penemuan ini sejalan dengan penelitian di daerah lain yang menunjukkan orang dewasa yang hidup di pedesaan yang alami menilai kalau kualitas hidupnya lebih tinggi ketika dibandingkan dengan orang dewasa yang hidup di daerah perkotaan (Bubolz et al.,1980). Kesesuaian ini menunjukkan kalau mahasiswa yang menghabiskan banyak waktu di daerah alami universitas mengatakan kalau kualitas hidupnya lebih tinggi daripada mahasiswa yang menghabiskan sedikit waktu di latar demikian.
5. Kesimpulan
Penelitian-penelitian yang digambarkan di atas mengungkapkan pentingnya pelestarian alam di lingkungan kampus. Pepohonan bukan saja meningkatkan estetika, namun juga kualitas hidup baik dari segi psikologis, fisiologis, afektif, maupun kognitif. Dengan adanya pepohonan, mahasiswa yang ada di kampus dapat memiliki prestasi lebih baik, belajar lebih giat, stress lebih rendah, pengalaman yang lebih kaya, dan kompetensi sosial yang baik.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas, penulis berpendapat kalau pemotongan pepohonan yang berada di sepanjang jalan kampus ataupun pohon manapun yang ada di lingkungan kampus adalah hal yang tidak bijaksana. Hal ini semakin terasa tidak bijaksana karena X adalah sebuah wadah intelektual, yang dengan sendirinya mengabaikan bukti-bukti empiris yang merupakan hasil dari kerja intelektual.
6. Saran
X seharusnya justru memanfaatkan momentum pembangunan besar-besaran kampus sebagai saat untuk menambah jumlah vegetasi, bukannya menggersangkan kampus. Hal ini semakin penting mengingat universitas terus mendapatkan tekanan untuk menjadi lebih akuntabel baik bagi masyarakat maupun bagi mahasiswa (Clifton et al, 1996:29). Menanam kembali bukanlah pilihan karena kita akan kehilangan beberapa generasi cendekiawan mengingat dampaknya pada aspek-aspek yang telah penulis sebutkan di atas. Jika memang pepohonan yang ada menghalangi proses pembangunan, penulis menyarankan dilakukan pemindahan pohon. Pohon-pohon yang ada dapat di relokasi ke suatu lahan khusus, halaman depan rektorat misalnya sehingga pembangunan dapat dilanjutkan. Lagipula lahan halaman depan rektorat sekarang merupakan lahan yang miskin tanaman namun tetap digunakan mahasiswa untuk berkumpul. Kualitas afektif dan kognitif mahasiswa di daerah tersebut menurut penulis akan lebih meningkat apabila ditambah sejumlah pepohohan sebagaimana telah digambarkan dalam hasil studi empiris.
Referensi
Sumber utama:
McFarland, A. 2007. The Relationship Between Student Use of Campus Green Spaces and the Arboretum and Perceptions of Quality of Life. Tesis. Texas State University.
Referensi rujukan:
Abu-Ghazzeh, T.M. 1999. Communicating behavioral research to campus design: Factors affecting the perception and use of outdoor spaces at the University of Jordan. Environment and Behavior, 31(6), 764-804.
Boyer, E.L. 1987. College: The undergraduate experience in America. New York: Harper and Row Publishers
Bubolz, M.M, J.B. Eicher, J. Evers, and S. Sontag. 1980. A human ecological approach to quality of life: Conceptual framework and results of a preliminary study. Social Indicators Research, 7, 103-136
Caws, P. 1970. Design for a university. Daedalus, XCIX (Winter, 1970), 84-107.
Chang, C. and P. Chen. 2005. Human response to window views and indoor plants in the workplace. HortScience, 40:5, 1354-1359
Clifton, R.A., E. Etchevery, S. Hasinoff, and L.W. Roberts. 1996. Measuring the cognitive domain of the quality of life of university students. Social Indicators Research, 38(1), 29-52
Cotton, S.J., M.F. Dollard, and J. de Jonge. 2002. Stress and student job design: Satisfaction, well-being, and performance in university students. International Journal of Stress Management, 9(3), 147-162.
Doxey, J. 2006. The impact of interior houseplants in university classrooms on course performance and on perceptions of the course and instructor. Unpublished master’s thesis, Texas State University-San Marcos, San Marcos, Texas
Dravigne, A. 2006. The effect of life plants and window views of green spaces on employee perceptions of job satisfaction. Unpublished master’s thesis, Texas State University-San Marcos, San Marcos, Texas
Drew, C. 1971. Research on the psychological-behavioral effects of the physical environment. Review of Educational Research, 41(5), 447-465).
Galindo, M. and J. Rodriguez. 2000. Environmental aesthetics and psychological wellbeing: Relationships between preference judgements for urban landscapes and other relevant affective responses. Psychology in Spain, 4(1), 13-27.
Glass, D.C. and J.E. Singer. 1972. Urban Stress: Experiments on Noise and Social Stressors. New York: Academic Press
Griffith, J.C. 1994. Open space preservation. Journal of Higher Education, 65(6), 645-669
Hartig, T., M. Mang, and G.W. Evans. 1991. Restorative effects of natural environment experiences. Environment and Behavior, 23(1), 3-26.
Herzog, T.R., S. Kaplan, and R. Kaplan. 1982. The prediction of preferences for unfamiliar urban places. Population and Environment, 5(1), 43-59.
Hockey, R. (Ed.) 1983. Stress and fatigue in human performance. New York: John Wiley.
Hull, R.B. and A. Harvey. 1989. Explaining the emotion people experience in suburban parks. Environment and Behavior, 21(3), 323-345.
Im, S. 1984. Visual preferences in enclosed urban spaces: An exploration of a scientific approach to environmental design. Environment and Behavior, 16(2), 235-262.
Isen, A.M. 1990. The influence of positive and negative affect on cognitive organization: Some implications for development. Dalam : N.L. Stein, B. Leventhal, and T. Trabasso (Eds.). Psychological and biological approaches to emotion (pp. 75-94). Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Kaplan, R. 1992. The psychological benefits of nearby nature. Dalam : D. Relf (ed.) The role of horticulture in human well-being and social development, 19-21 April 1990. 125-133. Portland, Oregon: Timber Press
Karmel, L.J. 1965. Effects of windowless classroom environment on high school students. Perceptual and Motor Skills, 20, 277-278
Korpela, K.M, T. Hartig, F.G. Kaiser, and U. Fuhrer. 2001. Restorative experience and self-regulation in favorite places. Environment and Behavior, 33(4), 572-589.
Lewis, C.A. 1994. The evolutionary importance of people-plant relationships. Dalam : J. Flagler and R. Poincelot (Eds.) People-plant relationships: Setting research priorities, 239-254. The Haworth Press, Binghamton, New York
Lohr, V.I., C.H. Pearson-Mims, and G.K. Goodwin. 1996. Interior plants may improve worker productivity and reduce stress in a windowless environment. Journal of Environmental Horticulture 14, 97-100
Parsons, R., L.G. Tassinary, R.S. Ulrich, M.R. Hebl, and M. Grossman-Alexander. 1998. The view from the road: Implications for stress recovery and immunization. Journal of Environmental Psychology, 18, 113-139.
Randall, K. and C.A. Shoemaker. 1992. Effects of plantscapes in an office environment on worker satisfaction. dalam : D. Relf (Ed.) The role of horticulture in human wellbeing and social development, 19-21 April 1990. 106-109. Portland, Oregon: Timber Press.
Russell, H., and D. Uzzell. 1999. Green plants for the feel good factor. Interiorscape Magazine. http://www.interiorscape.com/rentokil/.
Sheets, V.L. and C.D. Manzer. 1991. Affect, cognition, and urban vegetation: Some effects of adding trees along city streets. Environment and Behavior, 23(3), 285- 304.
Sturner, W.F. 1972. Environmental code: Creating a sense of place on the college campus. The Journal of Higher Education, 43(2), 97-109.
Tennessen, C.M. and B. Cimprich. 1995 Views to nature: Effects on attention. Journal of Environmental Psychology, 15, 77–85
Thayer, R. and B. Atwood. 1978. Plants, complexity, and pleasure in urban and suburban environments. Environmental Psychology and Nonverbal Behavior, 3, 67-76.
Think, M.K. 2003. University of San Francisco classroom and office standards and prototypes. http://www.usfca.edu/planning_budget/space_planning_committee/pdf/standards.Pdf.
Ulrich, R.S. 1979. Visual landscapes and psychological well-being. Landscape Research, 4, 17-23.
Ulrich, R.S. 1981. Natural versus urban scenes: Some psychophysiological effects. Environment and Behavior, 13(5), 523-556.
Ulrich, R.S. 1984. View through a window may influence recovery from surgery. Science, 224, 420-421.
Wolf, K.L. 1996. Psycho-social dynamics of the urban forest in business districts dalam : Williams, P. and Zajicek, J. (Ed.) People-plant interactions, 27-32. College Station, TX: Texas A&M University Press.
http://www.faktailmiah.com/2011/10/31/hubungan-antara-mahasiswa-dan-alam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar